ROHIL, INDOVIRAL.ID— Masuk tahap pledoi, kuasa hukum Andi bin Alm Tiu Liam, kiranya sebelum kami membahas lebih jauh tentang pembelaan ini, izinkanlah kami mengutip pendapat seorang ahli hukum Perancis yang bernama La Bruyerre sebagaimana ditulis oleh Hermann Mostar dalam buku.
“Peradilan Yang Sesat”
“Dihukumnya seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berfikir, oleh karena itu dalam perkara yang meragukan, setiap hakim yang baik dan adil lebih suka membebaskan sepuluh orang terdakwa yang diduga bersalah ketimbang menghukum seorang yang barangkali tak bersalah”.
“Ungkapan ini kiranya dapat memberikan peringatan kepada kita sebagai penegak hukum agar lebih berhati-hati dalam menentukan kesalahan seorang Terdakwa. Karena Hakim adalah tuhanya dunia,” kata S.A Sandi Arsas, SH, MH, didampingi Andi Nugraha, SH, kepada awak media ini, Senin (20/3), di Bagan Siapi-api.
Menurut para kuasa hukum, di fakta-fakta persidangan kliennya (Andi bin Alm Tiu Liam,red) ada hal yang sangat menohok dan janggal secara logika waras manusia. Diketahui bersama, klienya saat kejadian pihak BNN mengungkap 100 Kg sabu itu, klienya sedang menjalani hukuman dirumah tahanan Lapas Bagan siapi-api. Dan didalam Lapas, Napi tidak dibenarkan menggunakan ponsel (HP).
“Sangat janggal keterlibatan klien kita dikasus ini. Kita menilai, dicatutnya nama klien kita juah tidak berdasar. Bagai mana orang didalam lapas bisa mudah berkomunikasi dan menggunakan ponsel (HP). Sementara dilapaskan sangat ketat peraturanya apa lagi persoalan menggunakan HP,” ujar Sandi, sapaan akrabnya.
Dilanjutnya, ditemukan HP dilaci kamar rutan oleh pihak BNN dan disaksikan Jefri selaku perwakilan Lapas saat turut melakukan penggeledahan, hal ini sudah terbantahkan oleh Dua (2) saksi yang hadir dipersidangan dan disumpah. Mereka juga merupakan mantan napi jebolan Lapas Bagan siapi-api dan satu kamar dengan Andi Tiu.
“Kedua saksi mengatakan bahwa, HP Oppo warna hitam adalah milik Palkam (Kepala Kamar) yang merupakan mantan napi yang saat itu mau bebas dan si Palkam itu membayar hutang kepada klienya dengan meninggalkan HP tersebut. HP sudah di bawa dan di uji forensik, HP tersebut tidak ada keterkaitannya dengan terdakwa,” paparnya.
“Dan kesaksian dua saksi dihadapan majelis hakim saat itu, dimana satu ruangan yang berukuran kecil dihuni sampai puluhan bahkan bisa ratusan napi. Jika satu napi aja ada dijumpai memakai HP, maka kami akan hajar orang itu ketimbang kami semua kena hukum oleh sipir lapas. Kecuali Palkam yang boleh pakai HP,” kata Sandi, meniru.
Diurai kembali, sebagai dasar masuknya pokok perkara untuk klienya menurut Sandi, jauh dari dasar dan terkesan memaksakan kehendak. Bahkan terkesan ada oknum berkepentingan diperkara ini. Apakah Lapas Bagan siapi-api ini adalah Lapas tidak ada aturan dengan membebaskan para napinya menggunakan ponsel (HP)?…..
Beralih dari 2 saksi adecharge yang dihadirkan, saksi ahli hukum pidana kampus UIR (Universitas Islam Riau) Dr. Zulkarnain SH, MH, dalam persidangan menjelaskan bahwa tujuan hukum itu mencapai Keadilan, kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Dan jenis-jenis barang bukti menurut pasal 184 KUHP yaitu Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterang terdakwa.
“Bahwa ahli menjelaskan barang bukti itu adalah yang di gunakan oleh terdakwa untuk melakukan tindak pidana, BB HP sudah di bawa dan di uji forensik, HP tersebut tidak ada keterkaitannya dengan terdakwa. Lantas klien kita berkomunikasi dengan terdakwa lainnya menggunakan apa?” tegas Sandi, meniru.
Diakui Sandi, saat ini kliennya tengah menjalani proses hukum di Lapas Bagan siapi-api atas kasus Narkoba usai putusan Hakim PN Pekanbaru. Namun, lanjutnya, jika BNN mengejar TO atau pemain lainnya atas tangkapan 100 Kg diduga sabu itu, seharusnya Jaksa teliti segala materinya dan berkasnya.
“Kasus ini banyak melibatkan tersangka menurut pengembangan pihak BNN bahkan ada DPO. Sementara klien kita sudah lama mendekam di Lapas
atas perkaranya. Komunikasi aja susah dilapas itu, apa lagi cerita soal menggunakan HP. Jaksa yang menangani perkara ini diduga jaksa yang tidak pernah tau lapas itu bagi mana. Ketat sekali peraturanya Bosku,” tegas Sandi.
Ahli pidana dari Kampus UIR, Dr. Zulkarnain dikonfirmasi menjelaskan soal, terdakwa Andi bin Alm. Tiu Liam, yang di dakwa dengan Pasal 114 ayat(2) Jo pasal 132 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia nomor: 35 tahun 2009, pada prinsip pokoknya bahwa persengkokolan atau permufakatan jahat, mensyaratkan harus terbangun komunikasi antara sesama pelaku, entah bahasa verbal atau isyarat.
Intinya terbangun komunikasi, tanpa unsur tersebut maka pasal 132 tidak bisa diterapkan. “Garis bawahi ya, Tidak Bisa Diterapkan Pasal 132,” ujarnya.
Dilnajutnya, pada jaringan peredaran gelap narkotika, unsur-unsur pasal 132 mutlak HARUS terpenuhi, sama dengan korupsi unsur-unsur kerjasama mutlak HARUS terpenuhi, tanpa itu jika dipaksakan maka menjadi perkara main-main.
Percobaan permufakatan jahat pada pasal 132, berarti ada yg memiliki ide, dan ide itu di bahas, dan pembahasannya bisa pembagian tugas, dan pembagian hasil, singkatnya jaringan gelap yang berorientasi profit atau keuntungan.
Ada beberapa fase perencanaan dan pelaksanaan dan untuk memuluskan perencanaan itu pasti ada pembahasan, yang berarti ada komunikasi.
Komunikasi jaringan peredaran gelap narkotika pasti tidak menggunakan alat sembarangan, karena mereka tidak ingin terdeteksi dan terpantau.
Namun pertanyaannya, jika sarana kerjasama tidak ada, komunikasi Tidak ada.
Bagaimana bisa menerapkan pasal 132? Kapan Permufakatan jahat di lakukan? dengan cara apa kesepakatan itu?
“Jika memang tidak ada komunikasi, dan meyakinkan terjadi permufakatan hanya dengan asumsi, ini sangat berbahaya,” eluhnya.
“Maka, unsur-unsur pada pasal 132 menjadi Mutlak, harus terpenuhi seluruhnya, dan terbuka dengan jelas, jika vonis yg di inginkan hakim mempertimbangkan pasal 132,” tegas ahli pidana UIR.
Sebagai contoh kecil, lanjut Dr. Zulkarnain, sering di temukan sesama pecandu patungan beli sabu atau ganja untuk dikonsumsi bersama dan beratnya tidak signifikan apakah ini bisa dikenakan pasal 132?
Pendapat pribadi saya, lanjutnya, sesama pecandu patungan beli narkoba untuk di konsumsi bersama, tidak bisa dikenakan pasal 132, sebab Konteks pasal 132 hanya bisa digunakan pada jaringan peredaran gelap Narkotika, dan orientasinya profit, dengan narkotika dalam jumlah besar, pembagian tugasnya jelas.
Jika model perkara seperti itu terpenuhi unsur, maka pasal 132 berlaku, diterapkan pasal 114 ayat (2) Jo 132 ayat (1) dan di vonis seumur hidup atau mati.
“Tetapi jika tidak bisa dibuktikan unsur-unsur pasal 114 ayat (2) dan pasal (132), dan Hakim memvonis bebas, itu lebih bermartabat, sebab tidak boleh menjatuhkan Hukuman kepada orang yang TIDAK BERSALAH,” tandas Dr. Zulkarnin.
(Memed/ES)