Pinjaman Jaminan Akte Lahir,Bermodus Lunak Jerat Halus Rentenir Hingga Picu Konflik Sosial Masyarakat

Retorika Kehidupan-Indoviral.id|

Wajah lembut, janji manis, dan uang cepat cair. Begitulah modus baru para rentenir yang Jaminan Akte Lahir dan menyebar jaringnya melalui sistem pinjaman renteng berkelompok. Mereka mengaku membawa “bantuan” dalam bentuk pinjaman lunak tanpa jaminan, namun di balik itu terselip strategi halus menjerat warga dengan bunga tinggi, intimidasi, dan konflik sosial yang merusak tatanan hidup bermasyarakat.

Fenomena ini kini kian marak di pedesaan hingga kawasan pinggiran kota. Target utama mereka adalah ibu rumah tangga, pelaku UMKM kecil, dan buruh harian yang tergiur dana cepat namun minim pemahaman soal literasi keuangan.

Pinjaman renteng dikenal dengan sistem tanggung renteng yakni satu kelompok meminjam secara kolektif dan bertanggung jawab bersama. Jika satu orang gagal bayar, maka seluruh anggota wajib menanggung cicilannya.

Konsep ini pada dasarnya adalah solidaritas, namun justru sering berujung menjadi bumerang. Dalam praktiknya, ketegangan antar anggota kelompok kerap terjadi. Ketika satu orang tidak mampu membayar, kelompok lain terpaksa patungan, bahkan menekan dengan ancaman sosial.

Awalnya kami kompak, tapi begitu ada yang telat bayar, semua jadi musuh,” ujar R, seorang ibu rumah tangga di Jawa Tengah yang menjadi korban pinjaman renteng.

Konflik Sosial dan Kehilangan Kepercayaan

Kasus R bukan satu-satunya. Di banyak daerah, pinjaman renteng telah memicu konflik antarwarga, bahkan memecah hubungan kekerabatan dan pertemanan. Ada yang sampai tidak bertegur sapa, saling menuduh, bahkan lapor-melapor ke pihak berwajib.

Kondisi ini diperparah oleh intimidasi dari pihak pemberi pinjaman, yang seringkali mengutus kolektor lapangan untuk menagih dengan cara kasar. Meski tak memakai kekerasan fisik, mereka kerap menggunakan tekanan psikologis dan mempermalukan peminjam di depan umum.

“Ditagih di depan tetangga, diteriaki, bahkan difoto dan disebar ke grup WhatsApp,” kata seorang korban dari wilayah Bekasi.

Rentenir Berkedok Koperasi dan Bantuan Sosial
Modus yang digunakan para rentenir makin canggih. Mereka menyamar sebagai koperasi, lembaga bantuan modal, atau kelompok usaha bersama. Dengan iming-iming syarat ringan dan tanpa jaminan, masyarakat dengan mudah terbuai.

Namun, di balik itu tersembunyi bunga pinjaman yang mencekik, bahkan bisa mencapai 30-50% per bulan jika dihitung dari sistem cicilan harian.

“Awalnya saya pinjam Rp2 juta, katanya lunak. Tapi total saya harus kembalikan hampir Rp3 juta dalam sebulan,” ujar T, pedagang kaki lima yang kini terlilit utang dari tiga kelompok renteng berbeda.

Dampak Psikologis dan Lingkaran Setan Utang;

Selain konflik sosial, banyak korban mengalami gangguan psikologis akibat tekanan terus-menerus dari penagih dan kelompok. Rasa malu, cemas, depresi, hingga keinginan bunuh diri menjadi ancaman nyata.

Tak sedikit pula yang akhirnya melakukan gali lubang tutup lubang, meminjam dari kelompok lain demi membayar utang sebelumnya. Inilah awal dari lingkaran setan yang sulit diputus.

Minim Pengawasan, Rentenir Legal-ilegal Merajalela;

Ironisnya, praktik ini masih belum tertangani secara serius oleh aparat maupun otoritas keuangan. Banyak dari lembaga pinjaman renteng ini tidak terdaftar di OJK, dan bergerak di bawah radar hukum. Penegakan hukum pun lambat karena minimnya laporan masyarakat.

Sementara itu, solusi dari pemerintah belum menyentuh akar masalah. Program bantuan UMKM atau kredit mikro dari bank resmi kerap tidak menjangkau warga kecil yang paling rentan.

Solusi: Literasi, Alternatif Pinjaman Resmi, dan Penegakan Hukum;

Mengatasi masalah pinjaman renteng tak bisa sekadar kampanye sesaat. Diperlukan:

1.Peningkatan literasi keuangan di tingkat masyarakat akar rumput melalui sekolah, pengajian, dan kelompok ibu PKK.
2.Kehadiran lembaga keuangan resmi dengan akses yang lebih mudah dan bunga rendah, seperti Bank Wakaf Mikro, KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan koperasi legal.
3.Penertiban koperasi abal-abal dan rentenir berkedok bantuan oleh Dinas Koperasi dan OJK secara terpadu.
4.Peran aktif pemerintah desa dan tokoh masyarakat dalam memberikan edukasi dan menolak keberadaan lembaga keuangan tidak resmi di wilayahnya.

Pinjaman lunak seharusnya meringankan, bukan menjerat. Jangan biarkan wajah ramah para rentenir menjadi awal dari runtuhnya harmoni sosial kita.
(Red)