Bawaslu Beberkan Kerawanan Pemilu 2024: Netralitas-Polarisasi Masyarakat

 

Jakarta-Indoviral.Id|

Ketua Bawaslu RI Rahmad Bagja membeberkan sejumlah kerawanan yang berpotensi terjadi di Pemilu 2024. Dia pun mengaku sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengatasi kerawanan tersebut.
Awalnya, Bagja berbicara soal sejumlah isu strategis kerawanan dalam pemilu. Salah satu isunya adalah soal kerawanan hak pilih kelompok rentan, yakni pengungsi, pekerja migran, penyandang disabilitas, pemilih pemula yang belum memiliki KTP-el, masyarakat adat, dan orang-orang yang memiliki masalah administrasi kependudukan.
“Mengapa kelompok rentan perlu dilibatkan? Sesuai prinsip SGD, ini seperti, leave no one behind, tidak ada satu pun pemilih yang tidak tercatat dalam DPT, dengan goal nomor 16, target 16.7, menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif di setiap tingkatan sehingga penting untuk mengakomodasi kelompok rentan untuk turut serta aktif berpartisipasi terlibat pada proses pergantian kepemimpinan publik,” ujar Bagja dalam forum diskusi aktual BSKDN, Senin (20/2/2023).

Bagja lalu membeberkan kerawanan yang berpotensi terjadi di 2024. Dia menyebut Pemilu 2024 rawan dengan netralitas penyelenggara pemilu, khususnya di DOB Papua.

“Pertama adalah netralitas penyelenggara pemilu, ini isu kerawanan yang strategis dari pemilihan umum kedepan. Kemudian pelaksanaan tahapan pemilu di daerah provinsi baru atau DOB baru,” ungkapnya.

Selain itu, dia juga mengungkap adanya potensi kerawanan berkaitan dengan polarisasi masyarakat. Dia menyebut ini berkaitan dengan penggunaan media sosial.

“Kemudian potensi polarisasi masyarakat, mitigasi dampak penggunaan media sosial dan juga pemenuhan hak memilih dan dipilih,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menyinggung secara khusus terkait kerawanan yang dihadapi kelompok rentan, misalnya pengungsi yang kehilangan dokumen kependudukan karena bencana alam, pekerja migran yang tidak mendaftarkan diri dengan kedutaan, perkawinan anak di bawah umur 16 tahun, hingga adanya tempat pemungutan suara (TPS) yang tak ramah disabilitas dengan tidak adanya template braille.

“Kemudian kelompok rentan pemilu salah satunya pengungsi, pengungsi ini masih ada, kalau dalam status hukum internasional tidak dianggap sebagai refugee, refugee antar negara, ini termasuk internal displace people (IDP). Jadi pengungsi karena bencana alam dan lain-lain,” jelasnya.
“Ditemukan TPS yang tidak memiliki template braille dan tidak memperkenalkan akses disabilitas. Tentu juga akan kita lihat banyak beberapa tempat yang TPS-nya agak sulit dijangkau dan ini harus kita selesaikan pada saat ini,” lanjut Bagja.

Strategi Cegah Kerawanan
Untuk itu, Bagja mengatakan pihaknya menyiapkan sejumlah strategi pencegahan pelanggaran pemilu secara dini. Pertama adalah soal daftar pemilih tetap (DPT) perbaikan.

“Pertama ada DPT hasil perbaikan, satu, dua, dan tiga. Pada tahun 2011 lalu, pada zamannya Mas Pram dan saya pada saat itu, dan sekarang orang yang mengkritik itu ada di KPU, itu mas Afif. Jadi saya kira harus diselesaikan dengan andilnya beliau di KPU, seharusnya sudah terselesaikan,” tutur Bagja.

Strategi berikutnya adalah pemetaan kelompok rentan di setiap wilayah. Hal ini, lanjut Bagja, sudah dilakukan oleh pihaknya.

Kemudian, Bagja juga mengatakan pihaknya bakal memperkuat sosialisasi pemilu secara online atau daring. Sosialisasi ini bakal dilakukan oleh partai politik (parpol) dan KPU terkait visi-misi, program kerja, hingga parpol peserta pemilu.

“Kemudian memperkuat sosialisasi lewat aplikasi via daring, ini juga kedepan kita akan lihat bagaimana teman-teman partai politik dan juga KPU melakukan sosialisasi terhadap visi-misi program kerja dan juga siapa partai politik peserta pemilu,” kata Bagja.

“Ini harus dilakukan secara massif karena kita harus melakukan antisipasi dampak terhadap kampanye yang hanya 75 hari, karena kampanye hanya 75 hari seharusnya sosialisasinya sekarang lebih baik lagi ke depan,” lanjutnya.

Strategi berikutnya yakni menguatkan Peran RT dan RW untuk mendampingi kelompok rentan. RT dan RW, lanjut Bagja, juga memiliki peran pengawasan secara partisipatif agar tak merugikan kelompok rentan.

“Menguatkan peran RT dan RW memberikan pendampingan kepada kelompok rentan, kami punya banyak pengalaman, ketika ada indikasi menggunakan KTP warga lain kemudian KPPS yang menjadi RT, ‘oh dia nggak bisa dia bukan ini'” terang Bagja.

“Nah itu terbayang jika pengawasan dilakukan partisipatif oleh RT dan RW sehingga kemudian tidak terjadi hal-hal yang merugikan hak pemilih lain, kemudian tentu ketua RT dan RW tau bagaimana warga di sekitarnya punya kerentanan tertentu, misalnya disabilitas dan lain-lain,” sambungnya.

Kemudian, Bawaslu juga tengah mempersiapkan peluncuran Posko Kawal Hak Pilih yang dilengkapi dengan call center kelompok rentan. Selain itu, Bawaslu mendorong agar setiap TPS ramah terhadap penyandang disabilitas.

“Kemudian untuk mendorong setiap TPS yang terdapat penyandang tuna netra untuk menyiapkan template braille, mendorong penentua lokasi TPS yang ramah akses disabilitas, misalnya harus datar, kemudian tidak terlalu sulit untuk dijangkau teman-teman disabilitas, dan ini juga akan sangat tergantung pada teman-teman pantami dan teman-teman KPPS atau TPS yang akan bekerja ke depan, kami mendorong KPU, bersama KPU, mendorong khususnya KPU untuk kemudian menentukan akses lokasi TPS yang lebih baik lagi. Bawaslu mendorong pada peserta pemilih pada setiap kampanye terdapat penerjemah bagi disabilitas tuna wicara,” ungkapnya.

(Nov Marbun)